Laporan Human Right
Watch menyebut 'robot pembunuh' dapat dikembangkan dalam 20 hingga 30 tahun
mendatang. Bahkan, pengembangannya bisa lebih cepat dari waktu yang diperkirakan
itu.
Laman Dailymail, Rabu 20 November 2012, memberitakan bahwa 'Robot pembunuh' ini otonom. Artinya, bisa melakukan aktivitas tanpa harus dikendalikan atau di bawah otoritas manusia. Bahkan saat akan membunuh, robot ini tak perlu kendali dari manusia.
Kalangan militer di seluruh penjuru dunia menyatakan tertarik dengan robot ini, karena bisa bertempur secara otonom. Selain itu, robot-robot ini bisa mengurangi korban manusia saat situasi berbahaya.
Amerika Serikat menjadi negara yang terdepan dalam pengembangan 'robot pembunuh' ini. Saat ini saja, negeri Paman Sam ini telah mengoperasikan pesawat tanpa awak untuk memerangi kelompok militan di Pakistan, Yaman, dan di tempat lainnya.
Pesawat tanpa awak alias drone saat ini memang masih dikendalikan oleh manusia. Tak bisa membunuh tanpa perintah manusia. Namun, sistem, persenjataan yang hanya memerlukan sedikit campur tangan manusia telah terpasang.
Sistem senjata Phalanx raytheon, telah dipasang pada kapal Angkatan Laut AS. Sistem ini bisa mencari asal tembakan dan menghancurkan peluru yang menyerangnya.
Ada juga Northorp Grumman X47B,pesawat tempur tanpa awak. Pesawat ini mampu terbang dan mendarat pada kapal induk. Bahkan, mengisi bahan bakar di udara.
Namun, yang paling mendekati mesin pembunuh seperti yang terlihat dalam film laga 'Terminator' yang dibintangi Arnold Schwarzenegger, adalah robot pengawal buatan Samsung dan telah digunakan oleh militer Korea Selatan. Robot ini dapat melihat aktivitas yang mencurigakan, melawan para penyusup, dan apabila diperintahkan oleh manusia maka robot ini akan menyerang.
Tapi, Human Right Watch menegaskan bahwa robot bergaya Terminator ini harus dilarang, sebelum sebuah negara mulai menggunakannya. Laporan yang berjudul 'Losing Humanity' dan ditulis oleh Harvard Law School International Human Rights Clinic ini memberikan peringatan etika pengembangan teknologi. Mereka menyerukan perjanjian internasional yang melarang pengembangan, produksi, dan penggunaan senjata tanpa otoritasi, pada robot pembunuh.
Memang robot tersebut dapat menjauhkan manusia dari situasi yang berbahaya, tapi akan ada aspek negatif robot seperti ini bisa membuat keputusan sendiri. Dan yang paling berbahaya adalah ketika robot ini tidak membedakan antara warga sipil dan militer saat berada di zona perang.
Direktur Divisi Senjata Human Rights Watch, Steve Goose, mengatakan bahwa sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat sangat tertarik dengan pengembangan teknologi ini. Militer sangat bersemangat untuk menarik pasukannya dari medan perang dan mengganti dengan robot pembunuh, sehingga dapat menekan jumlah korban jiwa.
Meski 'robot pembunuh' ini belum lahir di muka bumi, Goose mengingatkan cara terbaik untuk mencegah mimpi buruk itu dengn etika. "Cara menghindar dari mimpi buruk ini adalah dengan membuat peraturan yang melarang pengembangan dan produksi dari robot pembunuh ini," kata Steve Goose.
Sementara menurut Sharkey Noel, profesor robotika dari Universitas Sheffield, dalam pembuatan robot pembunuh paling canggih ini, harus ada peraturan yang jelas jika robot tersebut mengalami masalah.
"Jika robot bermasalah, siapa yang bertanggung jawab? Tentu bukan tanggung jawab si robot," kata Sharkey Noel.
"Robot yang memiliki otoritas menyerang sendiri, dapat mengambil peluru di komputer dan mengamuk. Jadi, harus ada aturan yang menentukan siapa yang bertanggung jawab atas tindakan robot pembunuh tersebut. Ini sangat penting dalam hukum perang," tutup Sharkey Noel.
Laman Dailymail, Rabu 20 November 2012, memberitakan bahwa 'Robot pembunuh' ini otonom. Artinya, bisa melakukan aktivitas tanpa harus dikendalikan atau di bawah otoritas manusia. Bahkan saat akan membunuh, robot ini tak perlu kendali dari manusia.
Kalangan militer di seluruh penjuru dunia menyatakan tertarik dengan robot ini, karena bisa bertempur secara otonom. Selain itu, robot-robot ini bisa mengurangi korban manusia saat situasi berbahaya.
Amerika Serikat menjadi negara yang terdepan dalam pengembangan 'robot pembunuh' ini. Saat ini saja, negeri Paman Sam ini telah mengoperasikan pesawat tanpa awak untuk memerangi kelompok militan di Pakistan, Yaman, dan di tempat lainnya.
Pesawat tanpa awak alias drone saat ini memang masih dikendalikan oleh manusia. Tak bisa membunuh tanpa perintah manusia. Namun, sistem, persenjataan yang hanya memerlukan sedikit campur tangan manusia telah terpasang.
Sistem senjata Phalanx raytheon, telah dipasang pada kapal Angkatan Laut AS. Sistem ini bisa mencari asal tembakan dan menghancurkan peluru yang menyerangnya.
Ada juga Northorp Grumman X47B,pesawat tempur tanpa awak. Pesawat ini mampu terbang dan mendarat pada kapal induk. Bahkan, mengisi bahan bakar di udara.
Namun, yang paling mendekati mesin pembunuh seperti yang terlihat dalam film laga 'Terminator' yang dibintangi Arnold Schwarzenegger, adalah robot pengawal buatan Samsung dan telah digunakan oleh militer Korea Selatan. Robot ini dapat melihat aktivitas yang mencurigakan, melawan para penyusup, dan apabila diperintahkan oleh manusia maka robot ini akan menyerang.
Tapi, Human Right Watch menegaskan bahwa robot bergaya Terminator ini harus dilarang, sebelum sebuah negara mulai menggunakannya. Laporan yang berjudul 'Losing Humanity' dan ditulis oleh Harvard Law School International Human Rights Clinic ini memberikan peringatan etika pengembangan teknologi. Mereka menyerukan perjanjian internasional yang melarang pengembangan, produksi, dan penggunaan senjata tanpa otoritasi, pada robot pembunuh.
Memang robot tersebut dapat menjauhkan manusia dari situasi yang berbahaya, tapi akan ada aspek negatif robot seperti ini bisa membuat keputusan sendiri. Dan yang paling berbahaya adalah ketika robot ini tidak membedakan antara warga sipil dan militer saat berada di zona perang.
Direktur Divisi Senjata Human Rights Watch, Steve Goose, mengatakan bahwa sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat sangat tertarik dengan pengembangan teknologi ini. Militer sangat bersemangat untuk menarik pasukannya dari medan perang dan mengganti dengan robot pembunuh, sehingga dapat menekan jumlah korban jiwa.
Meski 'robot pembunuh' ini belum lahir di muka bumi, Goose mengingatkan cara terbaik untuk mencegah mimpi buruk itu dengn etika. "Cara menghindar dari mimpi buruk ini adalah dengan membuat peraturan yang melarang pengembangan dan produksi dari robot pembunuh ini," kata Steve Goose.
Sementara menurut Sharkey Noel, profesor robotika dari Universitas Sheffield, dalam pembuatan robot pembunuh paling canggih ini, harus ada peraturan yang jelas jika robot tersebut mengalami masalah.
"Jika robot bermasalah, siapa yang bertanggung jawab? Tentu bukan tanggung jawab si robot," kata Sharkey Noel.
"Robot yang memiliki otoritas menyerang sendiri, dapat mengambil peluru di komputer dan mengamuk. Jadi, harus ada aturan yang menentukan siapa yang bertanggung jawab atas tindakan robot pembunuh tersebut. Ini sangat penting dalam hukum perang," tutup Sharkey Noel.