JAKARTA - Pakar astronomi Thomas Djamaluddin
menegaskan bahwa berita-berita yang menyebut kiamat terjadi pada 12 Desember
2012, dan bahwa tiga hari menjelang Natal akan terjadi “blackout” adalah berita
bohong.
“Ramalan kiamat itu didasari kalender hitungan
panjang suku Maya yang oleh antropolog pun sudah ditepis. Dari sisi astronomi
juga tidak ilmiah,” kata Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional itu, di Jakarta, Minggu.
Ia juga membantah jika ramalan kiamat tersebut
terkait dengan hasil riset NASA bahwa semua planet termasuk matahari dan bumi
saat itu berada sejajar membentuk sebuah garis lurus untuk pertama kalinya, dan
menyebabkan bumi tertutup planet hingga terjadi kegelapan total pada 23-25
Desember 2012.
“Berita `blackout` itu bohong. Tidak ada
konfigurasi segarisnya planet dan tidak mungkin matahari terhalangi penuh,
sehingga bumi gelap. Info yang menyebut NASA juga bohong,” tukasnya.
Satu-satunya keterkaitan astronomi dengan kiamat
2012 itu yang benar adalah soal puncak aktivitas matahari pada 2012, di mana
medan magnet matahari mencapai suatu tingkat kompleksitas magnetik terlalu
tinggi, sehingga melepaskan energi.
“Tapi itupun telah bergeser ke pertengahan 2013,”
ujarnya.
Sekarang ini, lanjut dia, intensitas badai
matahari masih rendah, dengan rata-rata sekali dalam sebulan, tapi semakin lama
akan semakin sering di mana pada Mei 2013, dalam sehari bisa terjadi beberapa
kali badai matahari.
Namun, ujarnya, badai matahari tidak berpengaruh
pada manusia di bumi, karena bumi memiliki lapisan magnetik (magnetosir) yang
melindungi bumi dari partikel berenergi tinggi dengan membelokkannya ke kutub,
yang muncul sebagai fenomena aurora.
Radiasi Sinar X dan Ultra Violet dari matahari
juga difilter oleh atmosfer bumi yang mengandung lapisan ozon, sehingga tak
berpengaruh apapun pada bumi, papatnya.
“Dua hari lalu terjadi badai matahari, tapi kita
sudah lihat tidak berpengaruh apapun kepada bumi,” ucapnya.
Badai matahari, lanjut dia, hanya memberi
gangguan pada teknologi satelit dan komunikasi, khususnya di negara-negara di
lintang tinggi seperti di Eropa, Rusia, Kanada dan AS, tidak di negara di
ekuator seperti Indonesia.