Pada 65 tahun lalu sebanyak 431 penduduk sipil Kampung Rawagede
di Karawang ditembak mati oleh sepasukan tentara Belanda (KNIL) tanpa proses
pengadilan. Pembantaian Rawagede adalah peristiwa pembantaian penduduk Kampung
Rawagede (sekarang terletak di Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang), di antara
Karawang dan Bekasi, oleh tentara Belanda pada tanggal 9 Desember 1947 sewaktu
melancarkan agresi militer pertama.
Sejumlah 431 penduduk menjadi korban
pembantaian ini. Di Jawa Barat, sebelum Perjanjian Renville ditandatangani,
tentara Belanda dari Divisi 1 yang juga dikenal sebagai Divisi 7 Desember
melancarkan pembersihan unit pasukan TNI dan laskar-laskar Indonesia yang masih
mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Pasukan Belanda yang ikut ambil bagian
dalam operasi di daerah Karawang adalah Detasemen 3-9 RI, pasukan para (1e para
compagnie) dan 12 Genie veld compagnie, yaitu brigade cadangan dari pasukan
para dan DST (Depot Speciaale Troepen).
Sekitar 130.000 tentara Belanda dikirim
ke bekas Hindia Belanda, sekarang Indonesia.Dalam operasinya di daerah
Karawang, tentara Belanda memburu Kapten Lukas Kustaryo, komandan kompi
Siliwangi – kemudian menjadi Komandan Batalyon Tajimalela/Brigade II Divisi
Siliwangi – yang berkali-kali berhasil menyerang patroli dan pos-pos militer
Belanda. Di wilayah Rawagede juga berkeliaran berbagai laskar, bukan hanya
pejuang Indonesia namun juga gerombolan pengacau dan perampok. Pada 9 Desember
1947, sehari setelah perundingan Renville dimulai, tentara Belanda di bawah
pimpinan seorang mayor mengepung Dusun Rawagede dan menggeledah setiap rumah.
Namun mereka tidak menemukan sepucuk senjata pun. Mereka kemudian memaksa
seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang
lapang.
Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian
mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satu pun
rakyat yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang tersebut. Pemimpin
tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk menembak mati semua penduduk
laki-laki, termasuk para remaja belasan tahun. Beberapa orang berhasil
melarikan diri ke hutan, walaupun terluka kena tembakan. Saih, kini berusia 83
tahun menuturkan bahwa dia bersama ayah dan para tetangganya sekitar 20 orang
jumlahnya disuruh berdiri berjejer. Ketika tentara Belanda memberondong dengan
senapan mesin –istilah penduduk setempat: “didrèdèt”- ayahnya yang berdiri di
sampingnya tewas kena tembakan, dia juga jatuh kena tembak di tangan, namun dia
pura-pura mati. Ketika ada kesempatan, dia segera melarikan diri.
Hari itu
tentara Belanda membantai 431 penduduk Rawagede. Tanpa ada pengadilan, tuntutan
ataupun pembelaan. Seperti di Sulawesi Selatan, tentara Belanda di Rawagede
juga melakukan eksekusi di tempat (standrechtelijke excecuties), sebuah
tindakan yang jelas merupakan kejahatan perang. Diperkirakan korban pembantaian
lebih dari 431 jiwa, karena banyak yang hanyut dibawa sungai yang banjir karena
hujan deras. Seorang veteran tentara Belanda yang tidak mau disebutkan namanya
dari desa Wamel, sebuah desa di propinsi Gerderland, Belanda Timur mengirim
surat kebata korban perang sebagai berikut: Dari arah Rawa Gedeh tentara
Belanda ditembaki. Maka diputuskanlah untuk menghajar desa ini untuk dijadikan
pelajaran bagi desa-desa lain.Saat malam hari Rawa Gedeh dikepung. Mereka yang
mencoba meninggalkan desa, dibunuh tanpa bunyi (diserang, ditekan ke dalam air
sampai tenggelam; kepala mereka dihantam dengan popor senjata dll)Jam setengah
enam pagi, ketika mulai siang, desa ditembaki dengan mortir. Pria, wanita dan
anak-anak yang mau melarikan diri dinyatakan patut dibunuh: semuanya ditembak
mati. Setelah desa dibakar, tentara Belanda menduduki wilayah itu.
Penduduk
desa yang tersisa lalu dikumpulkan, jongkok, dengan tangan melipat di belakang
leher. Hanya sedikit yang tersisa. Belanda menganggap Rawa Gedeh telah menerima
pelajarannya.Semua lelaki ditembak mati oleh pasukan yang dinamai Angkatan
Darat Kerajaan. Semua perempuan ditembak mati, padahal Belanda negara
demokratis. Semua anak ditembak mati. Desa Wamel pada tanggal 20 September 1944
diserbu tentara Jerman. 14 warga sipil tewas dibunuh secara keji oleh tentara
Jerman. Nampaknya dari peristiwa Wamel ini, sang veteran menulis surat
penyesalan tersebut.
Hujan yang mengguyur mengakibatkan genangan darah
membasahi desa tersebut. Yang tersisa hanya wanita dan anak-anak. Keesokan
harinya, setelah tentara Belanda meninggalkan desa tersebut, para wanita
menguburkan mayat-mayat dengan peralatan seadanya. Seorang ibu menguburkan
suami dan dua orang putranya yang berusia 12 dan 15 tahun. Mereka tidak dapat
menggali lubang terlalu dalam, hanya sekitar 50 cm saja. Untuk pemakaman secara
Islam, yaitu jenazah ditutup dengan potongan kayu, mereka terpaksa menggunakan
daun pintu, dan kemudian diurug tanah seadanya, sehingga bau mayat masih
tercium selama berhari-hari. Kejahatan perang Pimpinan Republik kemudian
mengadukan peristiwa pembantaian ini kepada Committee of Good Offices for
Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk Indonesia) dari PBB.
Namun tindakan Komisi ini
hanya sebatas pada kritik terhadap aksi militer tersebut yang mereka sebut
sebagai “deliberate and ruthless”, tanpa ada sanksi yang tegas atas pelanggaran
HAM, apalagi untuk memandang pembantaian rakyat yang tak bedosa sebagai
kejahatan perang (war crimes). Tahun 1969 atas desakan Parlemen Belanda,
Pemerintah Belanda membentuk tim untuk meneliti kasus-kasus
pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan oleh tentara tentara kerajaan Belanda
(KL, Koninklijke Landmacht dan KNIL, Koninklijke Nederlands-Indische Leger)
antara tahun 1945 – 1950. Hasil penelitian disusun dalam laporan berjudul “Nota
betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in Indonesiė
begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950”, disingkat menjadi
De Excessennota. Laporan resmi ini disampaikan oleh Perdana Menteri de Jong
pada 2 Juni 1969. Pada bulan Januari 1995 laporan tersebut diterbitkan menjadi
buku dengan format besar (A-3) setebal 282 halaman. Di dalamnya terdapat
sekitar 140 kasus pelanggaran/ penyimpangan yang dilakukan oleh tentara
Belanda.
Dalam laporan De Excessen Nota yang hampir 50 tahun setelah agresi
militer mereka- tercatat bahwa yang dibantai oleh tentara Belanda di Rawagede
hanya sekitar 150 jiwa. Juga dilaporkan, bahwa Mayor yang bertanggungjawab atas
pembantaian tersebut, demi kepentingan yang lebih tinggi, tidak dituntut ke
pengadilan militer. Di Belanda sendiri, beberapa kalangan dengan tegas
menyebutkan, bahwa yang dilakukan oleh tentara Belanda pada waktu itu adalah
kejahatan perang (oorlogs-misdaden) dan hingga sekarang masih tetap menjadi
bahan pembicaraan, bahkan film dokumenter mengenai pembantaian di Rawagede
ditunjukkan di Australia. Anehnya, di Indonesia sendiri film dokumenter ini
belum pernah ditunjukkan. Pembantaian di Sulawesi Selatan dan di Rawagede serta
berbagai pelanggaran HAM berat lain, hanya sebagian kecil bukti kejahatan
perang yang dilakukan oleh tentara Belanda, dalam upaya Belanda untuk menjajah
kembali bangsa Indonesia, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya
pada 17 Agustus 1945.
Namun hingga kini, Pemerintah Belanda tetap tidak mau
mengakui kemerdekaan RI adalah 17.8.1945. Pemerintah Belanda tetap menyatakan,
bahwa pengakuan kemerdekaan RI telah diberikan pada 27 Desember 1949, dan hanya
menerima 17.8.1945 secara politis dan moral –de facto- dan tidak secara yuridis
–de jure- sebagaimana disampaikan oleh Menlu Belanda Ben Bot di Jakarta pada 16
Agustus 2005. Tuntutan kepada pemerintah Belanda pertama kali disampaikan oleh
Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia [KNPMBI]. [petisi . KNPMBI
didirkan pada 9 Maret 2002. Karena lingkup kegiatan KNPMBI sangat luas, maka
khusus untuk menangani hal-hal yang sehubungan dengan Belanda, Ketua Umum
KNPMBI, Batara R. Hutagalug bersama aktifis KNPMBI pada 5 Mei 2005 bertempat di
gedung Joang '45, mendirikan Komite Utang Kehormatan Belanda [KUKB].
Pada 15
Desember 2005, Batara R. Hutagalung, Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda dan
Laksamana Pertama TNI (Purn.) Mulyo Wibisono, Ketua Dewan Penasihat KUKB
bersama aktivis KUKB di Belanda diterima oleh Bert Koenders, juru bicara Fraksi
Partij van de Arbeit (PvdA) di gedung parlemen Belanda di Den Haag.[1] Dalam
kunjungannya ke Belanda, pada 18 Desember 2005, Ketua KUKB Batara R. Hutagalung
meresmikan KUKB Cabang Belanda dan mengangkat Jeffry Pondaag sebagai Ketua KUKB
Cabang Belanda, serta Charles Suryandi sebagai sekretaris.
KUKB di Belanda
membentuk badan hukum baru, yayasan K.U.K.B. Anggota Dewan Penasihat KUKB,
Abdul Irsan SH., yang juga mantan Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda, memberi
sumbangan untuk biaya pendirian yayasan, dan untuk membayar pengacara di
Belanda yang akan mewakili tuntutan para janda korban di Rawagede. Belakangan,
KUKB dan Yayasan KUKB pecah. Yayasan KUKB bersama para janda, penyintas
(survivor), dan saksi korban pembantaian di Rawagede menuntut kompensasi dari
Pemerintah Belanda. Liesbeth Zegveld dari biro hukum Bohler menjadi pengacara
mereka. Pada 15 Agustus 2006, 15 Agustus 2007 dan 15 Agustus 2008 KUKB pimpinan
Batara R. Hutagalung bersama beberapa janda dan korban yang selamat dari
pembantaian di Rawagede melakukan demonstrasi di depan Kedutaan Belanda di
Jakarta, dan setiap kali menyampaikan lagi tuntutan kepada Pemerintah Belanda.
Parlemen Belanda cukup responsif dan cukup terbuka mengenai pelanggaran HAM
yang telah dilakukan oleh tentara Belanda antara 1945 – 1950, walaupun kemudian
belum ada sanksi atau tindakan hukum selanjutnya. Juga tidak pernah dibahas,
mengenai kompensasi bagi para korban dan keluarga korban yang tewas dalam
pembantaian akibat agresi militer, yang baru pada 16.8.2005 diakui oleh Menlu
Belanda, bahwa agresi militer tersebut telah menempatkan Belanda pada sisi
sejarah yang salah.
sumber
sumber